Di luar,
malam datang tepat waktu. Sebuah kafe yang menyatu dengan bioskop, bangku no.7.
Laki-laki itu menunjukkan dua tiket yang usai dipesan. Perempuan itu melirik
laki-laki di depannya dengan pandangan malu-malu ketika ia membolak-balikkan
buku menu.
Merasa
diperhatikan, laki-laki itu tersipu. Ia menyodorkan menu. Perempuan itu
menunduk, membacakan.
"Kamu
pesan kopi apa?" tanya perempuan itu.
"Kamu
tidak ingat ya kalau aku tidak minum kopi?" kata laki-laki itu, sekali
lagi sambil tersenyum.
Perempuan
itu menunduk, tak sekalipun hilang dari ingatan. Tapi justru perempuan itu
ingin menunjukkan sebaliknya. Agar pertemuan ini menjadi lebih ringan.
"Orange
Juice?" tanya perempuan itu. Ia menuliskan menu dengan gemetar. Sampai
kemudian, sepasang kepedihan itu bertemu pandang. Sementara laki-laki itu
menemukan tempat labuh layaknya menemukan sosok calon ibu bagi anak-anaknya.
Perempuan
itu melambai ke arah pelayan, menyodorkan pesanan. Sejenak mereka diam. Diam
yang sarat dengan kata yang sebetulnya akan diungkap seperti pembincangan
sebelumnya. Tapi kali ini, apa artinya semua itu jika semuanya hanya berpisah?
"Bolehkah
aku menyentuh kulitmu?" tanya perempuan itu. Laki-laki itu diam. Sentuhan
akan menjadikan ingatan takkan terhapuskan.
Dari
kejauhan, perempuan yang menjadi kasir tiket memerhatikan meja itu dengan
pandangan menerawang. Ratusan pasangan datang untuk menonton di bioskop tiap
hari, tapi ia belum pernah melihat kebersamaan yang begitu memikat sebagaimana
di meja itu. Cara laki-laki menatap perempuannya (anggap saja perempuannya) akan
menjadikan para istri sejenak lupa punya suami. Sementara itu, pengumuman
terdengar dari jauhan. Pintu tiga sudah dibuka, mereka pun beranjak.
Di pintu
bioskop, laki-laki itu memberikan dua lembar tiket. Sejenak petugas tiket
menatap. Petugas yang sama, yang melayani pembelian tiket di kasir, satu jam
sebelumnya.
"Apa
ada yang salah?" tanya si perempuan. Ia mengenakan gaun mini tanpa lengan
berwarna coklat dan sepatu boots.
"Tidak.
Simpan tiket ini. Mungkin Anda akan memerlukannya, suatu hari nanti, untuk
sekadar mengingat hari ini," kata si petugas tiket itu sambil menyobek
tiket, lantas memberikan ke laki-laki dan perempuan itu. Mereka saling
berpandangan, lalu tertawa lepas.
"Terima
kasih, saya akan menyimpannya," kata laki-laki itu sambil menepuk pundak
si penjaga. Ia memasukkan tiket itu ke saku dada di balik jasnya. Ia
menyimpannya, di dadanya yang berdegup lirih. Lantas keduanya masuk ke bioskop,
tanpa bergandengan tangan, tanpa berkata. Tapi si penjaga merasakan, ada sebuah
ruang, begitu dekat, lebih erat daripada sentuhan.
"Filmnya
bagus, semoga kalian dapat menikmatinya," kata si petugas. Lelaki itu
menoleh, tersenyum. Di matanya ada kepedihan. Sekuat apapun benteng yang ia
bangun dengan senyuman. Walau jelas, ia gagal total, seminggu lagi ia akan
menikah dengan wanita pilihan ibunya.
Post a Comment
Post a Comment