Misteri Rumah Eyang Sutanto Part 2

Post a Comment

Tiba-tiba pandanganku terhenti pada salah satu foto besar yang terpajang di dinding ruang tamu. Foto itu adalah foto Eyang Sutanto  bersama istri dan putrinya.

Misteri Rumah Eyang Sutanto Part 2



Bertemu Eyang Sutanto

Lantas, Eyang Sutanto  langsung menceritakan kenangan manis yang ada di dalam foto itu, dengan sebuah tatapan nostalgia yang dibalut senyuman kuyu. Aku yang melihat itu jadi ikut terbawa suasana dan hanya bisa terdiam larat. Istrinya telah meninggal di saat putrinya berusia 14 tahun karena kecelakaan. Kemudian putrinya menyusul di usia 18 tahun karena Leukimia. Alhasil, aku tidak dapat membayangkan rasa kehilangan dalam diri Eyang Sutanto .

 

Setelah melakukan tur rumah, Eyang Sutanto  mengajakku makan malam bersama. Tanpa rasa sungkan aku langsung menerima ajakannya, karena aku juga belum makan malam. Arkian, dia mengantarku ke ruang makan yang dikelilingi oleh lilin kecil yang menyala, serta beberapa foto dan lukisan yang dipajang di dinding, sehingga memberi kesan klasik. Lalu Eyang Sutanto  menyajikanku seporsi gudeg dengan nasi kuning. Dia melakukan semua itu seorang diri, karena sudah tidak memiliki pembantu rumah tangga; terutama setelah usaha kain sutranya bangkrut. Walaupun begitu, makanan yang dihidangkannya tetap terlihat lezat dan mengeluarkan aroma yang menggoda.

 

Ruang Makan Rumah Eyang Sutanto

Lantas aku melahap semua hidangan itu, sembari melempar beberapa pertanyaan kepadanya. Salah satunya adalah kebenaran dari isu mengerikan - tentang dirinya - yang berkembang di kalangan masyarakat. Namun, Eyang Sutanto  menepis semua tuduhan tersebut dengan dingin, serta mengutuk si pembuat isu sebagai orang bodoh dan pengangguran yang tidak memiliki kesibukan untuk dijalaninya. Setelah mendengar jawaban itu, aku hanya bisa mengangguk puas.

 

****

Malam Pertama di Rumah Eyang

Setelah selesai makan malam dan membantu Eyang Sutanto  membersihkan piring dan meja makan; lantas dia mengantarku ke sebuah kamar tidur tamu yang terletak di lantai dua. Setibanya di sana, aku mendapati kamar berukuran empat kali enam meter yang sudah tersedia sebuah kasur, sebuah meja hias, dan sebuah lemari kayu. Eyang Sutanto  hanya mengantarku sampai di depan kamar; lalu meninggalkan pesan untuk tidak keluar rumah di malam hari, karena banyak binatang liar yang berkeliaran dari dalam hutan. Kemudian dia memberiku sebuah kunci kamar kuno yang besar dan terbuat dari logam hitam. Setelah itu dia pergi dan menghilang di ujung lorong rumah yang gelap.

 

Arkian, aku langsung menaruh semua barang-barangku di dalam lemari. Kalakian membaringkan tubuhku di atas kasur; berharap untuk segera mengakhiri malam yang melelahkan ini. Tetapi semua itu sirna, setelah aku mendapati empat foto potret besar yang terpajang di dinding kamar dengan posisi mengelilingi kasur. Semua foto potret itu berisi orang-orang yang memiliki rupa mengerikan; seperti mayat dalam kondisi berantakan dan tidak utuh. Mereka semua melempar tatapan terkutuk dengan mata yang pucat. Perihal yang membuatku gamang adalah foto itu terlihat sangat hidup.

 

Aku tidak pernah tahu bahwa Eyang Sutanto  memiliki hobi mengoleksi foto potret menyeramkan. Bahkan aku juga tidak menyangka bahwa dia juga memiliki humor yang buruk, dengan menaruh semua foto tersebut di kamar tidur tamu. Alhasil, aku berusaha untuk tidak menghiraukannya, sekaligus merencanakan untuk meminta izin kepada Eyang Sutanto  untuk memindahkan semua foto itu di keesokan harinya. Lantas aku memaksa diriku yang tidak nyaman untuk tertidur, sehingga malam kulalui dengan penuh pergulatan melawan kengerian yang mengintimidasi.

 

Keesokan harinya, setelah aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak, aku mendapati perihal yang mencengangkan dan mengerikan daripada apa yang telah kupikirkan sebelumnya. Semua foto potret itu telah menghilang dan berubah menjadi jendela kamar yang menghadap hutan. Walhasil, aku bergidik ngeri dan pikiranku mulai dipenuhi oleh imajinasi liar yang buruk.

 

****

 

Apakah Semua Hanya Halusinasi?

Aku terbangun dari tidurku dalam keadaan linglung dan gamang, setelah mendapati semua foto potret yang berisi orang-orang menyeramkan telah berubah menjadi jendela kamar yang menghadap hutan. Lantas, aku bergegas mencari Eyang Sutanto  dan menemuinya di pekarangan belakang rumah. Di sana dia sedang menatap sedu kuburan putrinya yang dihiasi oleh tumbuhan bunga mawar dan beberapa tumbuhan karnivora, sehingga memberi pesan duka yang puitis.

 

Lantas aku menceritakan perihal tersebut kepadanya. Tetapi Eyang Sutanto  hanya menatapku sambil tertawa geli dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki foto potret semacam itu di rumahnya. Kemudian, dia juga menambahkan, bahwa - mungkin - aku sedang kelelahan sehingga berhalusinasi buruk; ditambah lagi dengan letak rumah Eyang Sutanto  yang berada di dalam hutan dan terkesan menakutkan pada malam hari. Setelah mendengar penjelasan itu, pikiranku sedikit puas; tapi tidak dengan hati kecilku yang masih bimbang, sehingga menciptakan pergulatan batin yang melelahkan.

 

Dibalik Jendela Rumah Eyang Sutanto

Hingga malam kembali tiba; sewaktu aku hendak tertidur; aku mendapati perihal ganjil dari jendela kamarku. Seperti ada yang bergerak; mengawasi; mengintimidasiku dari luar jendela dan bersembunyi di balik kegelapan. Akan tetapi, aku menganggapnya sebagai reaksi biologis pada tubuhku, karena aku sedang sendirian di dalam kamar yang remang dan dikelilingi oleh jendela yang menghadap hutan yang gelap. Dari reaksi biologis itulah yang menciptakan rasa takut dan cemas, setiap kali aku menatap jendela kamar. Alhasil, aku berusaha untuk tidak menghiraukannya dan berencana untuk menutup semua jendela kamar terkutuk itu agar tidak terus mengganggu tidurku. Namun nahas, Eyang Sutanto  tidak memiliki kain gorden atau penutup jendela, sehingga membiarkannya terbuka lebar. Tampaknya aku harus mencari cara untuk menutupi semua jendela itu dengan benda lain!

 

Di tengah pertikaian akal dan upaya untuk tertidur; seketika aku mendapati - secara samar - bayangan yang sedang berdiri di luar jendela kamar dan mengawasiku dari dalam kegelapan. Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat; bayangan itu tidak sendirian, tapi berjumlah banyak dan memenuhi setiap jendela kamar. Awalnya aku berpikir bahwa aku sedang berhalusinasi. Tetapi setelah kuperhatikan dengan saksama, aku merasa itu sangat nyata. Selain itu, aku juga merasa tidak asing dengan bayangan tersebut. Hingga pada akhirnya aku menyadari perihal yang membuatku bergidik.

 

Mereka adalah orang-orang yang ada di dalam foto potret yang kulihat semalam. Tetapi, kali ini mereka berdiri lebih dekat dengan jendela kamar, sehingga aku dapat melihat rupa mereka lebih jelas daripada sebelumnya. Mereka tampak seperti mayat yang rusak dan masih terbungkus oleh kain kafan - seperti pocong - dalam kondisi berantakan, serta berlumuran tanah dan darah kering. Matanya yang pucat melempar tatapan horor, sembari menyeringai terkutuk yang mengganggu.

 

Aku hanya bisa membalas tatapan mereka dengan kengerian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Seketika tubuhku membeku dan retinaku terbakar. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku telah menatap mereka, sehingga pandanganku mulai terhisap ke dalam palung kegelapan dan menghilang di dalam kesunyian yang dingin.

 

****

Hari kedua di Rumah Eyang

Keesokan harinya, aku terbangun dalam keadaan lengar. Lantas aku memaksa tubuhku yang masih lemas untuk memeriksa jendela kamar, karena aku merasa ada yang tidak benar. Aku merasa yakin bahwa mereka terlalu nyata untuk disebut sebagai halusinasi. Akan tetapi, aku masih ragu dengan mataku sendiri.

 

Setelah aku melihat keluar jendela kamar, aku mendapati sebuah balkon dengan lebar kurang lebih dua meter. Kemudian aku langsung membuka paksa jendela kamar tersebut, dan menemukan banyak sekali jejak kaki berwarna merah - campuran dari tanah dan darah - yang mengotori seluruh lantai balkon depan jendela kamarku. Dari situlah aku menyadari perihal mengerikan yang tersembunyi di rumah Eyang Sutanto ; bahwa selama ini yang kulihat adalah nyata!

 

Bersambung

 

Related Posts

Post a Comment