Rumah Makan Sunda Citraloka Part 1

4 comments

 

Designed by using canva

23.00

“Haduh ini motor pake mogok segala, lagi” rutuk Fahira. Ia mengambil ponsel dari celananya berniat menghubungi sahabatnya tapi baru ingat, karean buru-buru tertinggal di loker rumah makan

“Ah, hari ini kenapa, sih, kok sial banget.”

Dari kejauhan melihat bayangan seseorang menghampiri Fahira dan ia terbelak dengan kilauan pisau tajam dalam kegelapan malam.”

 

“Arrgghhhhhhh, tolong!!!”

Fahira terus berteriak sambil berlari tergesa-gesa, ia menoleh ke belakang untuk memastikan, apakah si misterius masih mengikutinya atau tidak. Jalanan yang becek dan berkubang, menyusahkan dirinya untuk menghindari si misterius. Namun, si misterius seperti sudah terbiasa berjalan dan berlari dalam kondisi jalanan seperti itu.

 

Si misterius tidak terlihat jelas oleh Fahira Azzahra. Selain karena kegelapan malam membantu menyembunyikan wajah si pengejar, juga tertutupi masker dan kacamata hitam.

 

Fahira di ambang putus asa dan dikuasai kepanikan. Jalanan begitu sepi ditelan larutnya keheningan tengah malam. Seharusnya bisa menikmati waktu istirahat setelah lelah bekerja semalam. Justru ia malah dikejar oleh si misterius  yang seperti psikopat akan mengancam keselamatannya.

 

Fahira tiba di jalan menuju komplek rumahnya, berharap masih ada yang lalu lalang atau satpam komplek yang kontrol jalan depan komplek. Namun jalan lengang, sehingga ia masih berusaha untuk menghindari si misterius.

 

TAP!

 

Tangan si misterius memegang lengan Fahira. Refleks, Fahira menepis dan mendorongnya hingga masker dan kacamata si misterius terbuka, sehingga kini Fahira bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Fahira terkejut dan berkata, “Ka-kamu?”

 

Kepanikan Fahira semakin menjadi-jadi setelah melihat siapa si misterius tersebut. Ia bangkit namun kondisi jalanan setelah hujan, menyulitkan dia untuk segera berlari. Peluang kesulitan tersebut langsung dimanfaatkan oleh si misterius, yang langsung menahan tubuh Fahira dengan kaki dan tangan agar tetap tidak bisa kemana-mana.

 

“Tolong! Maafkan saya!” Fahira memohon dengan air mata yang berlinang oleh ketakutan dan rasa putus asa.

 

Si misterius tak menghiruakannya. Ia tetap mengayunkan pisaunya, lalu….

 

“Saya tidak bermaksud___”

 

SREB!

 

Pisau itu merobek kulit dan menembus jantung Fahira. Gadis itu hanya bisa menjerit kesakitan. Bagian tubuhnya yang lain terasa kaku, seolah seluruh sarafnya mendadak mengalami terhenti bekerja.

 

Fahira menyadari bahwa ini adalah akhir hayatnya. Di tengah momen sakarul mautnya itu, samar-samar ia mendengar si misterius mengucapkan, “Kudapan…”

 

20.30

 

Tumis ayam kurang bumbu, balik! teriak Koki Ajat Kertajasa yang kadang suka dipanggil Kang Ajat oleh anak buahnya, sembari melempar penggorengan berisi hidangan ke arah dapur utama.  

 

“Siap, Kang Ajat!” Seseorang yang bertugas sebagai juru masak lauk pauk menimpali perintah dengan rikuh. Semua orang sibuk dengan pembagian tugasnya masing-masing.

 

Panci melayang dengan segala macam umpatan kasar sudah hal lumrah di dapur Rumah Makan Sunda Citraloka, rumah makan premium di daerah Soekarno Hatta, Kota Bandung. Para juru masak disana sudah terbiasa dengann tekanan yang tercipta di dapur, karena semua yakin kedisiplinan dalam mempertahan citra rasa dan kualitas bahan merupakan kunci sukses agar hidangan tersaji dengan sempurna. Hal ini pula yang selalu membuat Rumah Makan Sunda Citraloka tetap ramai sekalipun bukan akhir pekan.

 

Kang Ajat berdiri tegak menatap salah satu juru masak di bagian lauk pauk yaitu Ageng Parta Sapirah atau biasa dipanggil Parta. Ia tahu kelemahan Parta adalah mempertahankan rasa. Sudah berapa kali hidangan milik Parta tak memenuhi standarnya, sehingga selalu menjadi pelampiasan amarah Kang Ajat.

 

Tumis suwir ayam berapa lama?! bentak Kang Ajat ke arah Parta. Ia begitu kesal masakan itu tak kunjung matang sampai ia harus cek langsung.

 

“Ya, kang, sebentar lagi!”  sahut Parta

 

“Sebentar-sebentar apa?!” Kang Ajat mendekati dapur utama. “Saya ga butuh sebentar-sebentar tapi saya butuh cepat dihidangkan untuk tamu.”

 

“Eh, tunggu” Kata kang Ajat, menahan Parta yang telah beranjak beberapa langkah. “Tadi kamu bilang mau izin pulang lebih awal bukan? Lebih baik kamu pulang sekarang daripada bikin makin kacau dapur saya.”

 

Parta menghela nafas berat sembari menggangguk, “Ya, Kang.”

 

Tak ada yang mempedulikan kepergian Parta, semua fokus pada pembagian tugasnya masing-masing. Bahkan sering terjadi ada yang langsung dipecat saat itu juga. Adistia Indira Kamania, atau yang akrab disapa Adistia merasakan malam ini adalah malam terbaiknya. Banyak menu hidangan malam ini yang telah dikuasai, bahkan beberapa kudapan miliknya sangat baik dibandingkan juru masak lain.

 

Setelah memulai kariernya sebagai asisten juru masak yang menyiapkan atau memotong bahan, tiga bulan kemudian diangkat tim juru masak kudapan dan terkadang diminta untuk membantu divisi bagian karbohidrat, sayuran, lauk pauk ataupun kudapan. Namun peningkatan drastis menimbulkan rasa iri dan curiga, ia dianggap menempuh jalan pintas dengan tahapan kariernya yang tergolong singkat.

 

"Teh Adistia, butuh berapa lagi porsi kue awug untuk menu kudapan hari ini?" tanya Imas, seorang asisten pengganti Adistia sebelumnya. “Buat jaga-jaga, tiga aja dulu, mas. Soalnya belum ada lagi yang pesan Kue Awug.” jawab Adistia tanpa memalingkan fokusnya dari menatap penyajian modern kue awug ala dia, agar tidak salah dalam penyajian untuk tamu.

 

Beberapa saat saat setelah Adistia menyerahkan hidangan kudapan yang merupakan hidangan penutup langsung bergegas bergabung dengan kepala bagian dapur lainnya untuk menunggu pesanan berikutnya.

“Pesanan terakhir, dua porsi nasi liwet paket komplit, kue awug, rujak buah dan es cendol” Selagi Kang Ajat membacakan pesanan dan menyebutkan ulang sesuai tugasnya masing-masing.

 

“Dengar!” seru Kang Ajat tegas, “Semua siap dalam waktu dua puluh menit”

“YA, KANG!!!”

 

22.30

Adistia menyelesaikan tugas hari ini dan melakukan briefing singkat dengan timnya untuk membersihkan dapur dan persiapan untuk esok hari. Meski itu tugasnya asisten, tapi ia turun langsung dan ikut membantu. Pada saat membersihkan sayup-sayup ia mendengar dari bagian dapur lain, “Lihat tuh, si Adistia caper banget,ya? Sok-sokan bantu asisten.” Dan ia hapal itu suara dari Fahira.

“Ya sudah lah mungkin mentalnya memang asisten tapi terlalu cepat naik pangkat karena pakai jalur orang dalam.” Timpal lainnya.

Nadira menahan amarah dengan menggenggam pisauh yang sedang dibersihkan dan secara refleks ia menusukkan pisau ke arah buah Semangka yang setengah terpotong.

SHIT!


Bersambung

 

 

Related Posts

4 comments

  1. pas adegan awalnya saja sudah ngeri aku..sepertinya ini mini seri bisa masuk pembunuhan berantai. lanjutkan kak ! kut tunggu lho.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, bikin cerita horor malah serem sendiri jadi ala-ala detektif aja lah

      Delete

Post a Comment