Pagi-pagi sekali,
masyarakat sekitar Cibogo, Bandung, dikejutkan dengan penemuan mayat perempauan
dengan punggung bagian kiri bolong karena tusukan benda tajam. Mulutnya
menganga serta kedua bola matanya melotot dengan tatapan kosong memancarkan
ketakutan yang luar biasa. Tak jauh dari mayat itu, terdapat pisau yang
dipenuhi darah dan juga replika hidangan yang terbuat dari clay. Di
antara replika hidangan tersebut terdapat selembar daun bertuliskan, “kudapan”.
Mayat yang tak lain
adalah Fahira Azzahra ditemukan oleh seorang pedagang pasar yang hendak
berdagang ke pasar Cibogo. Pedagang itu histeris dan membuat orang-orang di
sekitar menghampirinya. Lalu orang-orang yang menghampiri itu ikut terkejut
melihat sosok mayat perempuan. Tanpa menunggu waktu lama, seseorang kemudian
melapor pada kantor Polsek Sukasari.
Beberapa menit setelah
pelaporan, polisi datang ke TKP, Tim forensik langsung bergegeas melakukan
penyelidikan terhadap mayat. Garis kuning sebagai tanda agar masyarakat tidak
mendekati lokasi mayat sehingga menghapus barang bukti yang ada. Di antara
kerumunan, terdapat sanak keluarga korban yang terisak haru, sang ibu bahkan
menangis tersedu-sedu.
Seorang inspektur
polisi berpakaian kasual dengan lencana berkalung menerobos dari kerumunan di
dekat TKP. Polisi dengan berambut cepak dan tidak berkumis, proposi badan yang cukup
ideal karena pintar menjaga fisiknya. Ia menghampiri lokasi mayat Fahira
Azzahra, petugas perpangkat perwira yang datang terlebih dahulu langsung
menghampiri.
“Korban bernama Fahira
Azzahra.” ucap polisi perwira sambil menyerahkan berkas hasil penyelidikan awal.
“ Dia seorang juru masak di Rumah Makan Citraloka, usianya dua puluh empat
tahun, dibunuh dengan cara ditusuk dari punggung menggunakan pisau.”
Si inspektur polisi
memeriksa berkas. “ Haduh, pagi-pagi itu sarapan atau minum kopi, ini malah bunuh
orang.” Lawan bicara tak menanggapi celeton sang inspektur. “Ada bukti lain?”
tanya sang inspektur karena celetukannya, tidak ditanggapi oleh anak buahnya.
“Di samping mayat terdapat
senjata yang dipakai pelaku, yaitu pisau; replika hidangan yang terbuat dari clay
dan secarik kertas bertuliskan ‘kudapan’,” balas polisi perwira sambil
menyerahkan benda-benda yang disebutkan yang sudah dimasukkan ke dalam plastik
klip.
Si inspektur polisi
mengangkat sebuah benda dan sedikit memicingkan matanya lalu berkata, “Apa ini?”
“Yaa..” Polisi perwira
dengan santai lalu menjawab kembali. “Itu replika hidangan, Pak”
“Bukan itu! Apa niat
si pelaku menaruh replika di TKP?”
“Wah, ga tau, pak, kan
bukan saya pelakunya” balas si perwira dengan muka tanpa dosa.
Si inspektur kesal dan
lalu dengan teliti mengamati mayat. Setelah beberapa detik, si inpektur menoleh
dan memanggil anak buahnya. “Rakha kemari.”
“Iya, Pak” balas Rakha
sambil menghampiri atasannya.
“Kita mulai
penyelidikan ke tempat kerjanya. Saya yakin ada petunjuk awal disana.”
“Siap, Pak!” balas
Rakha sambil memberikan sikap hormat. “Tapi menurut laporan, rumah makan itu
baru buka jam 4 sore dan para pegawai baru akan datang jam 1 siang untuk
melakukan persiapan.”
Si inspektur lalu menjawab.”
Ya sudah, kita kembali ke kantor sambil cari informasi lainnya sebelum kesana.
Kita kesana jam satu siang. Tolong kamu jangan pura-pura sibuk di mushola
kantor padahal nyolong tidur siang.”
“Siap, Pak!”
13.15
“Kang Ajat kebetulan
sedang ada keperluan ke Jakarta. Kemarin malam setelah rumah makan tutup beliau
langsung berangkat.” jawab seorang pelayan kepada dua orang polisi yang akan
melakukan penyelidikan di Rumah Makan Citraloka. “Tapi saya bisa panggilkan orang
yang bertanggung jawab selama Kang Ajat tak
ada disini.”
“Ya, panggillah dia.”
kata polisi dengan santai
Beberapa menit
kemudian, muncul seorang wanita berparas cantik, namun memiliki hawa tegas dan
cenderung kaku. Langkah yang cukup teratur dan sangat hati-hati, di dada bagian
kiri chef jacket-nya terdapat logo Rumah Makan Citraloka sementara di
bagian dada kanannya terdapat emblem nama “Nisa Ardiani.”
“Selamat sore, Bapak-Bapak.
Mari silakan duduk,” sambut Nisa Ardiani dengan nada kaku sambil mengarahkan
dua polisi itu untuk duduk di salah sudut ruangan yang memang khusus disediakan
untuk ruangan tamu rekanan bisnis atau tamu vip lainnya.
“Ada yang bisa kami
bantu?” tanya Nisa setelah kedua polisi sudah dengan posisi santai dan nyaman.
“Sebelumnya
perkenalkan, saya Iptu Amar Cahya Marsudi, kepela unit reserse kriminal Polsek
Sukasari. Dan ini Rakha Sadeli.”
“Perkenalkan nama saya
Nisa Ardani, wakil kepala juru masak Rumah Makan Citraloka.” ucap Nisa tegas. “Lalu
maksud kedatangan bapak-bapak kesini untuk apa, ya?”
“Tadi pagi kami
melakukan penyelidikan mengenai kasus terbunuhnya salah satu pegawai di
restoran ini, yang terjadi tadi malam di Cibogo, lebih tepatnya dekat pasar
Cibogo. Jadi kami ingin melakaukan penyelidikan awal dari sini.” Inspektur Amar
menyampaikan maksud tujuannya.
“Oh iya, itu sudah
jadi berita yang ramai di whatsapp grup kami. Jadi benar, ya? Fahira Azzahra
ditusuk oleh seseorang hingga tewas?”
Inspektur Amar
mengangguk lalu melanjutkan pembicaraan, “Maka dari itu kami ingin meminta
keterangan pada orang-orang disini, sebab tempat terakhir yang dikunjungi
korban adalah tempat kerjanya. Mungkin dari keterangan orang-orang disini kami
bisa mendapatkan petunjuk yang berguna untuk penyelidikan.”
“Tentunya saya tidak
akan menghambat kerja kepolisian, saya tidak ingin melanggar pasal 221 ayat 1
KHUP karena dianggap menyembunyikan pelaku pembunuhan.” ucap Nisa dengan lugas
seperti menyebutkan resep makanan diluar kepala.
Kedua polisi tentu
langsung terpana dan tidak berkata apa-apa. Bagaimana seorang juru masak bisa
hapal hukum pidana.
“Tapi saya tidak yakin
bisa membantu, karena saya semalam hanya bertugas di kantor untuk mengurus
segala administrasi selagi Kang Ajat memimpin dapur.” ujar Nisa
“Tapi anda bisa kan, memberi
tahu siapa saja orang yang dekat dengan korban di Rumah Makan ini?” Inspektur
Amar mencari cara agar tetap bisa melakukan penyelidikan.
“Tentu bisa, tapi
pemeriksaan hanya bisa dilakukan di ruang ini karena mereka masih harus
melakukan persiapan untuk coffe break dan dinner service pada sore hingga
makan malam ini.” tutur Nisa, nadanya
diplomatis, karena walaupun konsep mereka adalah rumah makan tapi prosedur hospitality
yang menjadi ciri khas dibanding rumah makan lainnya.” Mungkin kalian bisa
memulai dari sahabat-sahabat dan rekan kerja satu divisi dengan korban.”
Lalu satu per satu
sahabat Fahira dimintai keterangan, namun hasilnya nihil. Pemberian waktu
keterangan tidak lama karena mereka sedang sibuk menyiapkan bahan dan bumbu.
Keterangan terakhir diminta dari Patra, “Kapan terakhir anda bertemu Fahira? Selagi
Inspektur Amar bertanya, Rakha mencatat poin penting dari setiap jawaban.
Patra berpikir
sejenak, “Mungkin kemarin malam, pada saat dinner service. Saya tidak
begitu ingat karena izin pulang terlebih dahulu.”
“Pulang terlebih
dahulu?”
“Iya, saya harus mengantar
adik saya ke stasiun Bandung, Dia akan liburan ke Jogjakarta.”
“Oke, kalau begitu
apakah anda kenal benda ini? Inspektur
Ama menyodorkan replika hidangan yang ditemukan di TKP
“Ini…. replika kue awug?”
Patra teringat
sesuatu, “ Oh iya, kalo tidak salah kue awug ini merupakan hidangan khas
modifikasi milik salah satu juru masak disini.”
Makanan di restoran
kami, memang selalu dibuatkan replikanya, ini salah satu cara agar pihak
manajemen rumah makan bisa mempromosikan masakan khas dari yang kami buat dalam
bentuk maket.” tambah Patra
“Lalu siapa pemilik
atau orang yang identik dengan masakan ini?
Yang membawa
modifikasi menu ini dan menjadikan sebagai kudapan unggulan disini …. Adistia.”
Bersambung
Lanjuut.
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir, kaka pije
Delete