Rumah Makan Sunda Citraloka Part 2

2 comments

 

Designed by using canva

Pagi-pagi sekali, masyarakat sekitar Cibogo, Bandung, dikejutkan dengan penemuan mayat perempauan dengan punggung bagian kiri bolong karena tusukan benda tajam. Mulutnya menganga serta kedua bola matanya melotot dengan tatapan kosong memancarkan ketakutan yang luar biasa. Tak jauh dari mayat itu, terdapat pisau yang dipenuhi darah dan juga replika hidangan yang terbuat dari clay. Di antara replika hidangan tersebut terdapat selembar daun bertuliskan, “kudapan”.

 

Mayat yang tak lain adalah Fahira Azzahra ditemukan oleh seorang pedagang pasar yang hendak berdagang ke pasar Cibogo. Pedagang itu histeris dan membuat orang-orang di sekitar menghampirinya. Lalu orang-orang yang menghampiri itu ikut terkejut melihat sosok mayat perempuan. Tanpa menunggu waktu lama, seseorang kemudian melapor pada kantor Polsek Sukasari.

 

Beberapa menit setelah pelaporan, polisi datang ke TKP, Tim forensik langsung bergegeas melakukan penyelidikan terhadap mayat. Garis kuning sebagai tanda agar masyarakat tidak mendekati lokasi mayat sehingga menghapus barang bukti yang ada. Di antara kerumunan, terdapat sanak keluarga korban yang terisak haru, sang ibu bahkan menangis tersedu-sedu.

 

Seorang inspektur polisi berpakaian kasual dengan lencana berkalung menerobos dari kerumunan di dekat TKP. Polisi dengan berambut cepak dan tidak berkumis, proposi badan yang cukup ideal karena pintar menjaga fisiknya. Ia menghampiri lokasi mayat Fahira Azzahra, petugas perpangkat perwira yang datang terlebih dahulu langsung menghampiri.

 

“Korban bernama Fahira Azzahra.” ucap polisi perwira sambil menyerahkan berkas hasil penyelidikan awal. “ Dia seorang juru masak di Rumah Makan Citraloka, usianya dua puluh empat tahun, dibunuh dengan cara ditusuk dari punggung menggunakan pisau.”

 

Si inspektur polisi memeriksa berkas. “ Haduh, pagi-pagi itu sarapan atau minum kopi, ini malah bunuh orang.” Lawan bicara tak menanggapi celeton sang inspektur. “Ada bukti lain?” tanya sang inspektur karena celetukannya, tidak ditanggapi oleh anak buahnya.

 

“Di samping mayat terdapat senjata yang dipakai pelaku, yaitu pisau; replika hidangan yang terbuat dari clay dan secarik kertas bertuliskan ‘kudapan’,” balas polisi perwira sambil menyerahkan benda-benda yang disebutkan yang sudah dimasukkan ke dalam plastik klip.

 

Si inspektur polisi mengangkat sebuah benda dan sedikit memicingkan matanya lalu berkata, “Apa ini?”

 

“Yaa..” Polisi perwira dengan santai lalu menjawab kembali. “Itu replika hidangan, Pak”

“Bukan itu! Apa niat si pelaku menaruh replika di TKP?”

“Wah, ga tau, pak, kan bukan saya pelakunya” balas si perwira dengan muka tanpa dosa.

Si inspektur kesal dan lalu dengan teliti mengamati mayat. Setelah beberapa detik, si inpektur menoleh dan memanggil anak buahnya. “Rakha kemari.”

“Iya, Pak” balas Rakha sambil menghampiri atasannya.

“Kita mulai penyelidikan ke tempat kerjanya. Saya yakin ada petunjuk awal disana.”

“Siap, Pak!” balas Rakha sambil memberikan sikap hormat. “Tapi menurut laporan, rumah makan itu baru buka jam 4 sore dan para pegawai baru akan datang jam 1 siang untuk melakukan persiapan.”

 

Si inspektur lalu menjawab.” Ya sudah, kita kembali ke kantor sambil cari informasi lainnya sebelum kesana. Kita kesana jam satu siang. Tolong kamu jangan pura-pura sibuk di mushola kantor padahal nyolong tidur siang.”

“Siap, Pak!”

 

13.15

“Kang Ajat kebetulan sedang ada keperluan ke Jakarta. Kemarin malam setelah rumah makan tutup beliau langsung berangkat.” jawab seorang pelayan kepada dua orang polisi yang akan melakukan penyelidikan di Rumah Makan Citraloka. “Tapi saya bisa panggilkan orang yang bertanggung jawab selama Kang Ajat  tak ada disini.”

 

“Ya, panggillah dia.” kata polisi dengan santai

 

Beberapa menit kemudian, muncul seorang wanita berparas cantik, namun memiliki hawa tegas dan cenderung kaku. Langkah yang cukup teratur dan sangat hati-hati, di dada bagian kiri chef jacket-nya terdapat logo Rumah Makan Citraloka sementara di bagian dada kanannya terdapat emblem nama “Nisa Ardiani.”

 

“Selamat sore, Bapak-Bapak. Mari silakan duduk,” sambut Nisa Ardiani dengan nada kaku sambil mengarahkan dua polisi itu untuk duduk di salah sudut ruangan yang memang khusus disediakan untuk ruangan tamu rekanan bisnis atau tamu vip lainnya.

 

“Ada yang bisa kami bantu?” tanya Nisa setelah kedua polisi sudah dengan posisi santai dan nyaman.

 

“Sebelumnya perkenalkan, saya Iptu Amar Cahya Marsudi, kepela unit reserse kriminal Polsek Sukasari. Dan ini Rakha Sadeli.”

“Perkenalkan nama saya Nisa Ardani, wakil kepala juru masak Rumah Makan Citraloka.” ucap Nisa tegas. “Lalu maksud kedatangan bapak-bapak kesini untuk apa, ya?”

 

“Tadi pagi kami melakukan penyelidikan mengenai kasus terbunuhnya salah satu pegawai di restoran ini, yang terjadi tadi malam di Cibogo, lebih tepatnya dekat pasar Cibogo. Jadi kami ingin melakaukan penyelidikan awal dari sini.” Inspektur Amar menyampaikan maksud tujuannya.

 

“Oh iya, itu sudah jadi berita yang ramai di whatsapp grup kami. Jadi benar, ya? Fahira Azzahra ditusuk oleh seseorang hingga tewas?”

 

Inspektur Amar mengangguk lalu melanjutkan pembicaraan, “Maka dari itu kami ingin meminta keterangan pada orang-orang disini, sebab tempat terakhir yang dikunjungi korban adalah tempat kerjanya. Mungkin dari keterangan orang-orang disini kami bisa mendapatkan petunjuk yang berguna untuk penyelidikan.”

 

“Tentunya saya tidak akan menghambat kerja kepolisian, saya tidak ingin melanggar pasal 221 ayat 1 KHUP karena dianggap menyembunyikan pelaku pembunuhan.” ucap Nisa dengan lugas seperti menyebutkan resep makanan diluar kepala.

Kedua polisi tentu langsung terpana dan tidak berkata apa-apa. Bagaimana seorang juru masak bisa hapal hukum pidana.

“Tapi saya tidak yakin bisa membantu, karena saya semalam hanya bertugas di kantor untuk mengurus segala administrasi selagi Kang Ajat memimpin dapur.” ujar Nisa

“Tapi anda bisa kan, memberi tahu siapa saja orang yang dekat dengan korban di Rumah Makan ini?” Inspektur Amar mencari cara agar tetap bisa melakukan penyelidikan.

 

“Tentu bisa, tapi pemeriksaan hanya bisa dilakukan di ruang ini karena mereka masih harus melakukan persiapan untuk coffe break  dan dinner service pada sore hingga makan  malam ini.” tutur Nisa, nadanya diplomatis, karena walaupun konsep mereka adalah rumah makan tapi prosedur hospitality yang menjadi ciri khas dibanding rumah makan lainnya.” Mungkin kalian bisa memulai dari sahabat-sahabat dan rekan kerja satu divisi dengan korban.”

 

Lalu satu per satu sahabat Fahira dimintai keterangan, namun hasilnya nihil. Pemberian waktu keterangan tidak lama karena mereka sedang sibuk menyiapkan bahan dan bumbu. Keterangan terakhir diminta dari Patra, “Kapan terakhir anda bertemu Fahira? Selagi Inspektur Amar bertanya, Rakha mencatat poin penting dari setiap jawaban.

 

Patra berpikir sejenak, “Mungkin kemarin malam, pada saat dinner service. Saya tidak begitu ingat karena izin pulang terlebih dahulu.”

“Pulang terlebih dahulu?”

“Iya, saya harus mengantar adik saya ke stasiun Bandung, Dia akan liburan ke Jogjakarta.”

“Oke, kalau begitu apakah  anda kenal benda ini? Inspektur Ama menyodorkan replika hidangan yang ditemukan di TKP

“Ini…. replika kue awug?”

Patra teringat sesuatu, “ Oh iya, kalo tidak salah kue awug ini merupakan hidangan khas modifikasi milik salah satu juru masak disini.”

Makanan di restoran kami, memang selalu dibuatkan replikanya, ini salah satu cara agar pihak manajemen rumah makan bisa mempromosikan masakan khas dari yang kami buat dalam bentuk maket.” tambah Patra

“Lalu siapa pemilik atau orang yang identik dengan masakan ini?

Yang membawa modifikasi menu ini dan menjadikan sebagai kudapan unggulan disini …. Adistia.”

 

Bersambung

 

 

 

 

Related Posts

2 comments

Post a Comment