Dari Nostalgia hingga Emosi: Alasan Milenial Mencintai Musik 2000–2010-an

Post a Comment

Kalau Sobat Jelajah Mia baca artikel Jelajah Mia sebelumnya hingga akhir, adakah hal menarik yang bisa diambil? Walaupun tidak baca atau sudah baca tapi tidak bingung bagian mana yang menarik, akan Jelajah Mia jelaskan. 

Ada Apa Dengan Playlist Generasi Milenial?

Wrapped dari spotify Jelajah Mia umumnya musik dari era 2000-2010an, kenapa bisa begitu? Padahal begitu banyak musik bertebaran saat ini dengan didukung digitalisasi yang mempermudah kita untuk akses musik terbaru. 

Di tengah derasnya arus musik baru yang lahir setiap hari, ada satu fenomena menarik yang terus bertahan: generasi milenial masih sangat mencintai musik dari era 2000–2010-an. 

Playlist mereka dipenuhi lagu-lagu lama, konser nostalgia selalu sold out, dan lagu yang dirilis belasan tahun lalu masih diputar berulang kali. Ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan refleksi dari hubungan emosional yang kuat antara musik dan fase hidup seseorang.

Musik bagi milenial bukan hanya hiburan, tetapi arsip perasaan, kenangan, dan perjalanan hidup.

Dari Nostalgia hingga Emosi: Alasan Milenial Mencintai Musik 2000–2010-an



Musik sebagai Penanda Masa Pembentukan Diri

Sebagian besar generasi milenial tumbuh dan beranjak dewasa di era 2000–2010-an. Di masa inilah identitas mulai terbentuk mulai dari cara berpikir, selera, hingga cara mengekspresikan emosi. 

Lagu-lagu yang menemani masa SMP, SMA, hingga kuliah menjadi latar dari banyak momen penting: cinta pertama, patah hati, persahabatan, mimpi, dan kegagalan awal.

Ketika lagu-lagu itu diputar kembali hari ini, yang hadir bukan hanya bunyi, tetapi juga perasaan. Otak mengingat detail-detail kecil yang mungkin sudah terlupakan. 

Bahkan dapat mengembalikan ingatan pada bau ruang kelas, perjalanan pulang sekolah, obrolan malam bersama teman, atau perasaan gugup saat jatuh cinta. Musik menjadi pintu masuk menuju masa lalu yang penuh warna.

Kekuatan Melodi dan Lirik yang “Nempel”

Musik era 2000–2010 dikenal dengan melodi yang kuat dan mudah diingat. Struktur lagu relatif sederhana, namun efektif. Chorus yang mudah dinyanyikan bersama, lirik yang jelas, dan emosi yang disampaikan secara langsung membuat lagu-lagu dari era ini terasa lebih dekat dengan pendengarnya.

Liriknya pun banyak bercerita. Tentang cinta yang sederhana, kehilangan, pencarian jati diri, hingga harapan akan masa depan. Cerita-cerita ini sangat relevan dengan fase hidup milenial saat itu, dan ternyata masih relevan hingga sekarang. Ketika hidup terasa berat, mendengarkan lagu lama sering kali memberi rasa dipahami.

Era Ketika Musik Dinikmati dengan Lebih Sadar

Berbeda dengan sekarang yang serba cepat dan instan, menikmati musik di era 2000–2010 membutuhkan proses. Menunggu lagu favorit diputar di radio, menonton video klip di televisi, atau mengunduh lagu dengan koneksi internet yang lambat membuat setiap lagu terasa lebih “berharga”.

Proses ini membangun keterikatan emosional yang lebih dalam. Lagu tidak hanya menjadi latar belakang, tetapi sesuatu yang benar-benar dinanti. Banyak milenial mengingat dengan jelas momen pertama kali mendengar lagu tertentu sesuatu yang kini semakin jarang terjadi di tengah algoritma streaming yang terus berganti.

Kualitas Vokal dan Musikalitas yang Menonjol

Era ini juga dikenal sebagai masa ketika kualitas vokal dan musikalitas sangat diperhatikan. Artis harus mampu bernyanyi secara live, menguasai panggung, dan membangun karakter musikal yang kuat. Autotune belum menjadi standar seperti sekarang, sehingga suara asli dan teknik vokal menjadi nilai utama.

Hal ini membuat banyak lagu dari era 2000–2010 terdengar “jujur”. Ketidaksempurnaan justru menjadi bagian dari keindahannya. Milenial sering merasa bahwa musik saat ini terlalu dipoles, sementara musik lama terasa lebih manusiawi.

Nostalgia sebagai Pelarian dari Realitas Dewasa

Saat ini, sebagian besar milenial berada di fase hidup yang penuh tanggung jawab. Tekanan pekerjaan, tuntutan finansial, peran sebagai orang tua, dan kecemasan akan masa depan menjadi bagian dari keseharian. Dalam kondisi ini, musik lama berfungsi sebagai ruang aman.

Mendengarkan lagu dari masa remaja memberi ilusi kembali ke masa yang lebih sederhana, ketika masalah terasa lebih kecil dan hidup belum dipenuhi ekspektasi. Nostalgia ini bukan berarti menolak masa kini, tetapi menjadi cara untuk menenangkan diri.

Keragaman Genre yang Lebih Kaya

Musik 2000–2010 menawarkan variasi genre yang luas dan seimbang. Pop, pop-rock, alternative, R&B, hip-hop, hingga pop-punk bisa hidup berdampingan di tangga lagu. Pendengar tidak terjebak pada satu jenis suara saja.

Bagi milenial, keberagaman ini menciptakan pengalaman mendengarkan yang lebih dinamis. Playlist terasa hidup dan penuh kejutan. Sementara saat ini, banyak yang merasa tren musik cenderung seragam dan mengikuti pola yang sama demi viralitas.

Kebangkitan Kembali Lewat Media Sosial

Menariknya, musik era 2000–2010 kini kembali populer di kalangan generasi yang lebih muda. Lagu-lagu lama viral di media sosial, digunakan sebagai latar video pendek, atau di-remake dengan gaya baru. Hal ini memperkuat posisi musik lama sebagai karya lintas generasi.

Bagi milenial, fenomena ini terasa seperti validasi emosional. Lagu-lagu yang mereka cintai di masa lalu ternyata masih relevan dan diapresiasi hingga sekarang.

Lebih dari Sekadar Musik

Pada akhirnya, alasan mengapa generasi milenial masih menyukai musik tahun 2000–2010-an bukan semata karena kualitas lagu, tetapi karena makna yang melekat di dalamnya. Musik tersebut adalah bagian dari perjalanan hidup, saksi dari proses tumbuh, jatuh, dan bangkit.

Musik lama menjadi pengingat bahwa kita pernah muda, pernah bermimpi tanpa batas, dan pernah percaya bahwa segalanya mungkin. Dan selama kenangan itu masih hidup, lagu-lagu dari era itu akan selalu punya tempat istimewa di hati generasi milenial.


Newest Older

Related Posts

Post a Comment