BRAK!
“Ari maneh gelo
sugan, dis?!” bentak Kang Ajat sambil gebrak meja serta menatap tajam ke
arah Adistia
Adistia tidak bereaksi,
hanya menundukkan pandangannya.
Kejadian tersebut
tentu membuat orang saling mencuri pandang dan berbisik, karena sudah bukan
rahasia umum, hampir semua karyawan yang ada di Rumah Makan Sunda Citraloka mengetahui
kalau Adistia dicurigai sebagai pelaku pembunuhan Fahira.
“Kamu sadar jadi orang
yang dicurigai oleh polisi? Ini akan mencoreng nama baik saya, teman-temanku
dan tentu Rumah Makan Sunda Citraloka!” Kang Ajat tetap dengan nada yang lantang
“Bukan saya pelakunya,
Kang!” bantah Adistia tak kalah lantang, “Mungkin ada yang coba menjebak saya.”
Karena Kang Ajat sadar
pintu ruangannya belum ditutup dan melihat Patra sedang memperhatikan dari luar
pintu, langsung memberi perintah. “Patra, tutup pintu!”
“Lalu saya harus
bilang apa ke ayahmu?” Kang Ajat sambil menghela nafas
“Kang Ajat tak perlu
mengatakan apa pun kepada ayah saya dan tidak perlu merasa terbebani atas
keselamatan saya.” ujar Adistia lugas
Belum sempat Kang Ajat
berucap, Patra memaksa masuk ke ruangan Kang Ajat, “Punten, kang, diluar sudah
banyak pesanan untuk kudapan, jadi Adistia harus diluar buat cek akhir sebelum
dihidangkan ke pelanggan.”
Adistia bangun dari
posisi duduk dan berkata lembut ke Kang Ajat, “Mulai saat ini, beban itu sudah
lepas.”
Setelah Adistia dan Patra
keluar dari ruangannya, lama kang Ajat merenung dan lalu ia menelepon seseorang
untuk melaporkan kejadian hari ini di Rumah Makan.
*****
Di area Rumah makan
maupun di dapur tampak berjalan seperti biasa dengan segala kesibukan tamu hari
ini yang lumayan penuh, menu kue awug untuk sementara tidak selalu tiap hari
dimunculkan tetapi diselingin dengan menu lain, sebagai bentuk perkenalan menu
baru untuk mengetahui selera pelanggan cenderung kemana, seperti halnya hari
ini yaitu modifikasi menu kue putu dalam bentuk slice cake. Salah satu
cara agar Adistia tetap bisa menyajikan hidangan sesuai dengan mood sambil
penyelidikan terhadap dirinya dan rekan-rekan lainnya berjalan.
Walau sebagian kecil
pelanggan sudah mulai curiga dan mendadak ada pelanggan baru yang datang hanya
karena ingin cek kepastian bahwa pembunuhan yang terjadi, apakah benar dilakukan
oleh pegawai rumah makan disini atau bukan.
Semua seolah tersihir
ketika sudah masuk area Rumah Makan Sunda Citraloka, dari awal sudah disuguhi
dengan welcome drink khas minuman sunda seperti bandrek, bajigur ataupun
teh sereh. Dekorasi yang ditawarkan oleh pihak rumah makan, tentu memanjakan
mata, nuansa khas seperti tembok bata, batu dengan hiasan anyaman pada setiap
sudut ruangan. Disediakan ruangan khusus ruang terbuka untuk menikmati kolam
buatan dan taman yang bisa dibilang luas. Tentunya ada ruang lesehan. Beberapa
kali tempat mereka disewakan oleh beberapa pihak baik umum maupun public
figure, untuk berbagai acara seperti pertemuan ataupun pernikahan.
“Nad” panggil Mang Suhe
“Ya, Mang” jawab Adistia
“Jangan berpura-pura
kuat, istirahat dulu, atau kamu mau mengeluarkan unek-unek sama mamang?” ujar Mang
Suhe dengan lembut, sambil menyiapkan beberapa intruksi yang akan diserahkan
kepada asistennya, karena Mang Suhe dipercaya Kang Ajat untuk mengurusi stok
makanan dan bila diperlukan, bisa menggantikan di semua divisi dapur, karena
pengalamannya dalam mengolah makanan sunda otentik, hanya urusan penyajian
harus dibantu sama yang lain.
Lalu mengalirlah
cerita dari Adistia kepada Mang Suhe tentang kejadian pada saat dikantor dengan
Kang Ajat dan betapa tertekannya Adistia dituduh sebagai pelaku pembunuhan Mang
Suhe. Mang Suhe mendengarkan segala keluh kesah Adistia tanpa menyanggah dan
menyela sedikitpun. Mang Suhe untuk di kalangan seluruh karyawan Rumah Makan
Sunda Citraloka terkenal paling bijak dan tempat curhat semua karyawan bahkan
Kang Ajat sekalipun, apapun kalimat yang disampaikan akan didengarkan dan
dipertimbangkan dengan baik oleh siapapun.
“Nah, besok Kang Ajat
minta waktu kosong. Kamu bisa sambil minta maaf, biasanya dia suka nongkrong jam
8 malam di ayam penyet langganannya ciumbuleuit, dekat perbatasan dago atas dan
lembang. “Mang Suhe menyarankan
“Iya, deh. Nanti aku
cari waktu khusus buat minta maaf. Makasih sarannya ya, Mang.”
Dari jauh seseorang
mengamati dan mengawasi Adistia di setiap langkahnya dan lalu menelepon
seseorang dan berkata, “Jam 8 malam di ayam penyet langganannya ciumbuleuit,
pastikan semua lancar.”
Keesokan harinya di Ciumbuleuit
pada malam hari
Saat Kang Ajat sedang
menikmati hidangan kesukaannya sambil mengobrol dengan pemilik tempat makannya,
siapa yang tidak bangga punya langganan juru masak terkenal. Saat itu, Adistia
menghampiri Kang Ajat dengan segala maju mundurnya untuk memberanikan diri
mendatangi Kang Ajat langsung dalam kondisi bukan di restoran. Sebelum datang
menemui Kang Ajat, akhirnya Adistia memutuskan untuk menelepon seseorang yang
ia miliki jatah untuk menelepon satu tahun hanya 5 kali, bila dalam kondisi
darurat dan butuh untuk ditenangkan. Akhirnya ia pergunakan, walaupun akhirnya
tersisa satu kali lagi jatah untuk menelepon seseorang tersebut. Setidaknya Adistia
jauh lebih stabil emosinya ketika akan menemui Kang Ajat.
“Jadi kedatangan saya
kemari…” ucap Adistia terbata-bata. Ia merasa segan berbicara dengan lawan
bicaranya setelah mengingat betapa kasarnya kemarin berbicara . “Saya mau minta
maaf, atas kejadian kemarin sore di Rumah Makan. Saya sadar kelewatan batas,
mohon maafkan saya, Kang.”
Kang Ajat tertawa dan
terheran-heran dengan sikap Adistia, “Sebenarnya tidak ada yang perlu dimaafkan
soal kejadian kemarin. Tapi terkait kejadian pembunuhan Fahira, saya tidak akan
memaafkan pelaku. Dia bukan hanya menghilangkan nyawa pegawai saya, tapi juga
merusak reputasi rumah makan saya.”
Adistia hanya
menundukkan kepala, ingin rasanya ia mengungkapkan segala pembelaan dan alibi
yang ia miliki, tapi ia dipenuhi rasa emosi, ketakutan, marah dan sedih menjadi
satu. Melihat Adistia hanya diam saja lalu Kang Ajat sedikit menekankan nada
bicara kepada Adistia, “Ada lagi? Kalau tidak ada, saya mau menikmati hari
libur saya dengan tenang bersama makanan kesukaan saya.”
Tak berapa lama setelah
Adistia pergi untuk kembali ke rumahnya, karena ia sudah diberi peringatan oleh
ayahnya untuk tidak lebih dari jam 9 malam berada diluar aktivitas biasanya,
selain urusan bekerja di Rumah Makan.
Setelah ngobrol kembali
dengan pemilik tempat makan dan menyantap hidangannya. Baru saja satu suapan,
mulutnya seperti tercekat, rasa pahit di lidahnya merasuk ke dalam tenggorokan.
Ia seperti disaupi puluhan kilo tanah basah sekaligus,
“AAAAAAKKKKKHHHHH……”
Teriakan itu mengejutkan seluru pengunjung lain. Tubuh Kang Ajat ambruk.
Beberapa pengunjung mendekati tubuh Kang Ajat, beberapa lagi ada yang berteriak
histeris.
Sementara dari
kejauhan, seseorang menatap dingin kejadian yang terjadi di tempat makan dengan
dingin. Ia menghembuskan nafas berat sambil mendesis, “Hidangan utama….”
Bersambung
Catatan :
Ari maneh gelo sugan,
dis :
Kamu sudah gila, dis
Post a Comment
Post a Comment