Misteri Rumah Eyang Sutanto Part 4

Post a Comment

 Pertanyaan prasangkaku ke Eyang Sutanto  telah merusak hubungan kami berdua, sehingga dia menghubungi Bagas - melalui telepon rumahnya - untuk segera datang menjemputku. Secara tidak langsung dia telah mengusirku. Tetapi aku tidak menyesalinya; karena aku sendiri sudah resah dengan apa yang telah kualami selama tiga malam di rumahnya yang penuh teror dari sosok yang menakutkan. Alhasil, aku segera Bogorkan semua barangku ke dalam tas, serta menunggu jemputan Bagas di ruang tamu.

 

Misteri Rumah Eyang Sutanto Part 4

Akan tetapi, setelah berjam-jam aku menunggu, Bagas tidak kunjung datang. Eyang Sutanto  hanya memberiku secangkir kopi hitam, lalu pergi meninggalkanku seorang diri tanpa memberi sepatah kata-pun. Tampaknya dia sedang menjaga jarak dariku. Walhasil, aku hanya bisa menyeruput kopi hitam tersebut, sambil menanti jemputanku.

 

Setelah beberapa waktu berlalu, aku mulai merasa kantuk dan tertidur di atas sofa; hingga kembali terbangun akibat suara halilintar yang mengamuk di depan rumah. Lantas aku melihat jam tanganku yang sudah menunjukkan waktu telah lewat dari tengah malam. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah tertidur sangat lama, tapi yang membuatku bingung adalah Bagas masih belum datang. Kemudian aku bergegas meraih telepon rumah Eyang Sutanto  - karena ponselku telah rusak dan tak berfungsi - dan segera menghubungi Bagas. Namun nahas, telepon itu juga tidak berfungsi. Awalnya aku berpikir telah terjadi masalah jaringan sinyal; tapi setelah kuperiksa, ternyata kabel teleponnya telah diputus.

 

Rasa emosi dan kelesah membaur menjadi satu di dalam batinku, sehingga aku mulai mencari Eyang Sutanto  di seluruh penjuru rumah. Namun aku tidak menemukannya. Awalnya aku berpikir dia sedang pergi keluar untuk sebuah aktivitas mengerikan seperti malam sebelumnya; tapi itu terbantahkan oleh penemuanku akan sebuah mobil Suzuki Carry Pick-Up tahun 1992 yang masih terparkir di halaman belakang rumah. Eyang Sutanto  tidak mungkin pergi tanpa mengendarai mobil itu! Lebih-lebih aku melihat adanya tanda bahwa mobil itu habis digunakan; keadaan mesin yang masih hangat dan banyak lumpur segar di beberapa bagian tubuh dan roda mobil. Aku sangat bersyukur telah mendapatkan bukti sebelum terhapus oleh hujan badai yang akan menerjang.

 

Sewaktu aku sibuk mengamati mobil tersebut, seketika aku mendapati kuburan putri Eyang Sutanto  yang telah dibongkar dan menyisakan sebuah lubang kosong. Keadaan semakin buruk, saat di waktu yang bersamaan, aku juga melihat serangkaian jejak kaki - terbuat dari tanah dan darah - yang melaju masuk ke dalam rumah, melalui sebuah pintu di halaman belakang; bekas tempat produksi kain sutra yang sekarang telah dipenuhi oleh perabot rumah bekas, salah satunya adalah jendela kamarku yang telah dirusak. Walhasil, penemuan itu telah mempertegas bahwa kejadian semalam adalah nyata.

 

****

 

Arkian, aku mengikuti arah jejak itu pergi; hingga menghilang di bawah lemari buku besar yang terletak di lorong perantara ruang tamu dan halaman belakang rumah, serta terletak di bawah tangga menuju lantai dua. Tampaknya si pemilik jejak itu telah memasuki sebuah tempat rahasia, melalui lemari buku tersebut. Walhasil, entah apa yang merasuki diriku, aku langsung mencari cara untuk menyingkirkan lemari buku itu. Hingga akhirnya aku melihat sebuah patung Jurumeya yang terletak di atas lemari buku. Jurumeya sendiri adalah salah satu tokoh raksasa sebangsa setan - dalam dunia pewayangan - yang sangat sakti dan tidak bisa mati; bertugas sebagai penjaga pintu masuk kerajaan Batari Durga dan mengganggu siapa saja yang memasuki tempat itu.

 

Entah apa yang mengendalikan pikiranku, tubuhku bergerak dengan sendirinya saat aku menatap mata patung Jurumeya; lalu tanganku langsung mendorong hidung bundarnya, sehingga menciptakan suara mesin dan getaran pada lemari buku tersebut. Secara otomatis, lemari buku itu terbuka dan memperlihatkan sebuah lorong dan anak tangga - menuju ruang bawah tanah - yang dibentuk dari batu candi, sekaligus meniupkan udara dingin ke mukaku, beserta bau kemenyan dan rempah-rempah yang menusuk hidung.

 

Aku sangat terperangah melihat lorong itu. Rasa takut dan penasaran semakin bergejolak di dalam batinku, sehingga membuat tubuhku mematung dalam beberapa menit. Seketika - secara samar - aku mendengar suara Eyang Sutanto  yang sedang melantunkan sesuatu. Suaranya yang parau dan samar telah menggema di sepanjang lorong; seolah suara itu sedang memanggilku. Lantas aku mulai memasuki lorong yang gelap dan sempit; menuruni setiap anak tangga yang memusingkan dan lembab. Hingga akhirnya aku tiba di suatu tempat yang mirip dengan katakomba yang dibangun dengan batu candi yang suram; berbentuk seperti tabung dengan dihiasi oleh pilar-pilar tidak suci dan sembilan ceruk yang tertata secara berselang-selang beraturan di sekelilingnya; diterangi oleh lentera lilin yang tertempel di setiap sudut dinding katakomba.

 

Di tengah-tengah katakomba itu, aku mendapati Eyang Sutanto  yang mengenakan Jawi Jangkep hitam dengan celana kain sutra cokelat, sedang melafalkan sebuah mantra dengan bahasa yang sulit kumengerti; semacam bahasa Sansekerta atau - mungkin - bahasa asing yang belum kuketahui. Dia melafalkan mantra tersebut di depan mayat putrinya yang masih terbungkus kain kafan; diletakan secara telentang di atas batu yang berbentuk meja persembahan; dikelilingi empat kemenyan yang terbakar.

 

Perihal yang mengerikan adalah Eyang Sutanto  dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki rupa menyeramkan; berdiri mematung seperti boneka horor; menyaksikan ritual tersebut dari dalam ceruk. Secara kasar mereka terlihat seperti manusia biasa, semi-manusia, dan bukan manusia sama sekali. Mereka semua sangat heterogen. Walaupun begitu, aku masih dapat mengenali mereka sebagai penguntit malam di jendela kamarku.

 

****

 

Tidak lama kemudian, Eyang Sutanto  mengambil sebuah mangkuk berisi cairan merah yang terdiri dari berbagai macam rempah-rempah, yang telah dicampur dengan beberapa cairan kimia yang tidak kuketahui; lalu menuangkannya ke dalam mulut putrinya. Arkian, Eyang Sutanto  mulai kembali berteriak - melafalkan mantra - dengan suara lantang yang bergetar. Kalakian - secara ajaib - mayat putrinya mulai bergetar dan menggeliat; nafasnya terbatuk-batuk; hingga akhirnya dia melompat sambil menjerit lengking.

 

Aku hanya bisa menyaksikan peristiwa tersebut - dari mulut lorong pintu keluar - dengan penuh rasa ketidakpercayaan. Akan tetapi, perihal yang membuatku lebih takjub adalah aku belum menjadi gila saat melihat kejadian tersebut. Padahal, seharusnya aku sudah jatuh pingsan atau berlari seperti orang kesetanan; tapi aku hanya bisa berdiri mematung sambil menyaksikan peristiwa dahsyat itu.

 

"Putriku... putriku yang tercinta!" ujar Eyang Sutanto  sambil menahan tangis.

 

Lantas dia langsung memeluk mayat hidup putrinya dengan penuh haru; bagaikan sebuah reuni keluarga yang emosional. Sedangkan putrinya hanya terdiam dingin dan kaku saat menerima pelukan.

 

"Sekarang kita akan kembali bersatu! Tidak ada yang bisa memisahkan kita... meskipun itu maut atau Tuhan!" ujar Eyang Sutanto , "Kini ritual kita akan segera berakhir!"

 

Bersambung

Related Posts

Post a Comment