Siapa
yang hidupnya tak lepas dari scroll-scroll hp? Entah itu buka sosial media,
whatsapp atau bahkan lihat video streaming. Waktu suka tidak terasa bukan? Atau
ikut terbawa emosi dengan apa yang kita lihat, baca dan tonton?
Dengan
situasi diatas, saatnya kita ngobrol soal digital detox dan slow living. Dua
konsep ini lagi banyak diperbincangkan, lho. Apalagi buat kita yang hidup di
zaman serba cepat kayak sekarang.
Yuk,
kita bahas tentang slow living untuk detoksifikasi digital, simak sampai akhir
ya artikelnya!
Slow Living
Slow
living adalah gaya hidup yang menekankan kesadaran penuh terhadap waktu dan
momen. Untuk melakukan slow living,
sobat Jelajah Mia bisa mengurangi ketergantungan pada perangkat digital dan
menggantinya. Ini membantu lebih sadar, mengurangi stres, dan terhubung kembali
dengan diri sendiri serta lingkungan sekitar.
Slow
living, ini lebih ke filosofi hidup. Intinya, kita jalani hidup dengan lebih
pelan, sadar, dan penuh makna. Tidak buru-buru, tidak ngoyo, tapi fokus pada
hal-hal yang beneran penting.
Contohnya
seperti hubungan sama orang-orang terdekat, alam, atau sekadar menikmati momen
kecil yang sering kita lewatin karena sibuk.
Apa Itu Detoksifikasi Digital
Detoksifikasi
Digital itu artinya kita sengaja “puasa” dari dunia digital yaitu ponsel,
laptop, media sosial, bahkan mungkin video streaming seperti youtube, reels dan
tiktok untuk kasih otak kita istirahat. Bukan berarti kita benci teknologi, ya,
tapi lebih ke kasih waktu buat diri kita sendiri biar tidak ketergantungan sama
layar.
Detoksifikasi
Digital adalah periode waktu di mana seseorang sengaja mengurangi atau
menghentikan penggunaan perangkat digital seperti ponsel pintar, komputer,
tablet, dan media sosial untuk sementara waktu.
Tujuannya
adalah untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi, mengurangi stres yang
disebabkan oleh paparan informasi yang terus-menerus, dan meningkatkan
interaksi sosial secara langsung.
Di
Indonesia, dua konsep slow living dan detoksifikasi digital ini cocok banget diterapin.
Soalnya kita punya budaya yang sebenarnya udah mendukung slow living dari dulu,
misalnya tradisi ngobrol di teras rumah atau nikmatin sunset di pantai.
Tapi,
tantangannya, kita juga hidup di era di mana notifikasi Instagram atau deadline
kerja bisa bikin kita lupa caranya “pelan-pelan”.
Kenapa Kita Butuh Slow Living Untuk Detoksifikasi Digital?
Coba
deh inget-inget, berapa jam sehari kamu pegang ponsel? Kalau Jelajah Mia sih,
jujur aja, kadang bisa sampai 6-7 jam, apalagi kalau lagi kerja atau iseng
scroll tiktok.
Terus,
apa sih dampaknya? Banyak. Mulai dari mata capek, susah tidur, sampe rasa cemas
karena kita tidak sengaja bandingin hidup kita sama highlight reel orang lain
di medsos.
Belum
lagi, kalau kita terlalu sibuk sama dunia digital, kita bisa lupa sama dunia nyata,
obrolan sama keluarga, suara aktivitas di pagi hari atau bahkan cuma ngeliatin
air hujan.
Digital
detox tidak hanya soal matiin ponsel, tapi juga soal ngasih ruang buat otak
kita bernapas. Kita punya banyak cara seru buat ngelakuin ini, dari liburan ke
desa-desa yang masih asri sampe cuma duduk-duduk di sawah sambil dengerin suara
jangkrik.
Seperti
halnya yang sering Jelajah Mia lakukan bersama keluarga dengan berkunjung ke
Sumedang dan Bogor untuk detoksifikasi
digital.
Kembali ke Akar Budaya Indonesia
Kalau
ngomongin slow living, Indonesia itu sebenarnya udah punya “template” alami
buat gaya hidup ini. Coba bayangin: nenek moyang kita dulu hidup tanpa Wi-Fi,
tapi bahagia, kan?
Mereka
ngobrol di pos ronda/rumah tertentu, nyanyi bareng di kampung, atau ngurus
kebun sambil nikmatin angin sepoi-sepoi. Nah, kita bisa belajar banyak dari
cara hidup mereka.
Di
kota dengan akses dan tekanan hidup tinggi, memang susah buat hidup pelan-pelan
karena semua serba cepat, macet, deadline, sampe antri di fasilitas umum.
Tapi,
slow living tidak harus berarti kita pindah ke desa dan jadi petani (meskipun
ini impian suami Jelajah Mia sekali). Lalu bagaimana cara menerapkan
detoksifikasi digital dalam slow living?
Cara Menerapkan Slow Living Untuk Detoksifikasi Digital
1. Kurangi Penggunaan Gadget dan Media Sosial
Mulailah
dengan mengurangi waktu yang dihabiskan untuk men scrolling media sosial dan
menggantinya dengan aktivitas lain seperti membaca buku, menulis jurnal, atau
melakukan hobi yang disukai.
2. Tetapkan Batasan Waktu
Tentukan
waktu-waktu tertentu dalam sehari di mana Anda tidak akan menggunakan gadget,
misalnya saat makan, sebelum tidur, atau di pagi hari.
3. Fokus pada Aktivitas Analog
Carilah
kegiatan yang bisa Anda nikmati di dunia nyata, seperti berjalan-jalan di alam,
berkebun, atau menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat.
4. Manfaatkan Teknologi dengan Bijak
Jika
Anda perlu menggunakan teknologi untuk bekerja atau alasan lain, gunakan dengan
bijak dan batasi waktu penggunaannya. Baca blog teman saya juga jadi salah satu solusi memanfaat teknologi dengan bijak
5. Ciptakan Ruang Tanpa Gadget
Tentukan
area di rumah Anda yang bebas dari gadget, seperti kamar tidur atau ruang
keluarga, untuk menciptakan lingkungan yang lebih tenang dan fokus.
6. Detoksifikasi Media Sosial Secara Bertahap
Jika
Anda merasa sulit untuk lepas dari media sosial, cobalah untuk mengurangi
penggunaannya secara bertahap.
7. Fokus pada Kehadiran Penuh
Saat
melakukan aktivitas apapun, cobalah untuk hadir sepenuhnya dan fokus pada momen
tersebut, bukan pada notifikasi atau hal lain yang mengganggu.
Manfaat Slow Living Untuk Detoksifikasi Digital
1.
Meningkatkan Kualitas Tidur
Dengan
mengurangi paparan layar sebelum tidur, Anda bisa mendapatkan tidur yang lebih
nyenyak.
2.
Mengurangi Stres dan Kecemasan
Detoksifikasi
digital membantu mengurangi paparan informasi yang berlebihan dan membuat Anda
lebih tenang.
3. Meningkatkan Fokus dan Konsentrasi
Dengan
mengurangi gangguan digital, Anda bisa lebih fokus pada tugas yang sedang Anda
kerjakan.
4.
Meningkatkan Kualitas Hubungan
Dengan
lebih banyak waktu untuk berinteraksi langsung, Anda bisa memperkuat hubungan
dengan orang-orang terdekat.
5.
Meningkatkan Kreativitas
Dengan
menjauh dari layar, Anda bisa memberikan ruang bagi pikiran untuk lebih
kreatif.
6.
Meningkatkan Kesejahteraan Emosional
Slow
living dan detoksifikasi digital membantu Anda untuk lebih terhubung dengan
diri sendiri dan meningkatkan rasa bahagia.
Tentu
namanya memulai sesuatu yang baru pasti ada tantangannya, apa saja?
Tantangan dan Tips Biar Konsisten
Jujur
aja, digital detox dan slow living tidak gampang, apalagi kalau kita udah
terbiasa hidup cepat. Beberapa tantangan yang sering muncul:
1.
FOMO (Fear of Missing Out)
Takut
ketinggalan info di medsos? Coba ingetin diri sendiri bahwa dunia tidak bakal
kiamat kalau kamu tidak buka tiktok sehari.
2.
Kebiasaan lama.
Kalau
refleks buka ponsel tiap bangun tidur, coba ganti kebiasaan itu dengan minum
air putih atau tarik napas dalam-dalam.
3.
Tekanan kerja
Banyak
dari kita yang nggak bisa lepas dari gadget karena kerjaan. Solusinya, coba
buat batasan, misalnya nggak buka email di atas jam 8 malam.
Tips biar konsisten
1.
Mulai dari kecil.
Coba
digital detox selama 2 jam dulu, baru naik ke seharian.
2.
Ajak temen atau keluarga
Lebih
seru kalau rame-rame, misalnya bikin “hari tanpa gadget” bareng temen.
3.
Ganti waktu layar dengan hobi baru
Misalnya,
belajar melukis, bikin kerajinan tangan, atau ikut kelas masak.
Penutup
Slow
Living Untuk Detoksifikasi Digital itu bukan cuma tren, tapi cara buat kita
kembali ke hal-hal yang beneran penting. Di Indonesia, kita punya privilege
luar biasa: alam yang indah, budaya yang kaya, dan komunitas yang hangat.
Dari
duduk di warung kopi sampai hiking di gunung, ada banyak cara buat hidup lebih
pelan dan menikmati momen.
Jadi,
kapan kamu mau coba Slow Living Untuk Detoksifikasi Digital? Atau mungkin udah
punya pengalaman seru soal slow living?
Share
dong di kolom komentar, biar kita bisa saling inspirasi! Yuk, kita mulai hidup
lebih sadar dan bermakna, satu langkah kecil setiap hari.
Kalo saat ini mungkin belum yang sampai parah banget ya mbaa scroll2 hape, kadang juga klo pas sadar langsung tuh taruh hape gak lagi scroll2 medsos ga jelas,,dan menggantinya utk mendengarkan podcast atau utup yang bermanfaat,,lagi berusaha menggunakan media digital dengan bijak untuk upgrade kemampuan dan kualitas diri :)
ReplyDeleteAku ada rencana juga mau detox layar. Dari buku yang aku baca malah diminta 30 hari. Ini bikin aku mikir untuk nyari pengganti hiburan apa
ReplyDeleteIya loh akhir akhir ini aku merasa penuh notifikasi. Layar HP tuh harus selalu ku pantau. Kadang nggak ngap ngapain tp harus buka aja
ReplyDeleteButuh banget detoks digital nih, apalagi klo udah lihat konten-konten kebijakan yang bikin gemes dan ikutan frustasi jadi WNI 😁
ReplyDeleteWah jadi pengingat untuk Umma mendetoksifikasi diri dengan layar. Meskipun sedikit ragu bisa melakukannya
ReplyDeleteAh iya, kalau terlalu sering terkena paparan layar, memang kadang bikin pusing dan mood ancur
ReplyDeleteMakannya kadang aku juga perlu detoks digital
Topik Slow Living untuk detoksifikasi digital ini menarik banget! Di tengah kesibukan dan banjir notifikasi setiap hari, kadang kita lupa pentingnya jeda dan menikmati momen tanpa layar. Menerapkan gaya hidup slow living bisa jadi solusi jitu buat menyeimbangkan hidup, menjaga kesehatan mental, dan kembali fokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna. Detoks digital bukan tentang menjauh total dari teknologi, tapi tentang menggunakan teknologi dengan lebih sadar dan bijak.
ReplyDeleteSetuju banget! Slow living bisa jadi cara ampuh buat detoks digital. Nggak perlu ekstrem, cukup mulai dari matiin notifikasi dan nikmati waktu tanpa layar. Aku pernah melakukannya tanpa sengaja, yakni saat beberapa waktu lalu hapeku rusak. Ternyata hidup tanpa lama-lama menatap layar itu rasanya bikin waktu lebih lama. Padahal biasanya 24 jam itu kayaknya kurang.
ReplyDeleteDetox digital memang harus kuat niatnya. Hape tuh kayak melambai2 aja gitu yaa minta dipegang mulu hehehee... Memang sebaiknya banyak melakukan aktivitas lain yang tidak mengharuskan untuk pegang gawai. Banyak sih sebenarnya pilihan aktivitasnya, tinggal kitanya aja niat apa enggak.
ReplyDeleteSaya sudah beberapa bulan ini mencoba untuk LDRan dengan gadget, walaupun masih banyak hilapnya wkwkwk. Tapi alhamdulillah mba rasanya saya lebih fokus dan lebih produktif
ReplyDeleteBener nih mbak, aku juga ngerasa nyesel banget kalau udah terjebak di scrolling, selain mata capek, kita juga jadi bandingin hidup kita sama orang lain, terutama temen temen
ReplyDeletePerlu ini untuk digaungkan agar hidup tetap natural dan seimbang. Gak kebayang kalau mental dan pikiran terus terkurung dalam kotak bernama gadget.
ReplyDeleteCita-citaku saat tua nanti mau pulang kampung dan berkebun. Ehh, belum sampe usia yang dimaksud, sekarang ini pun sudah pingin cari pekarangan yang bisa digunakan untuk berkebun, meski belum bisa pulang kampung. Kadang ngerasa capek dengan arus zaman digital yang serba cepat ini, pengen menjalani hidup yang lebih sehat dengan banyak aktivitas fisik seperti berkebun, tapi belum siap dengan income yang diperoleh, ehehe.
ReplyDeleteKonsep slow living untuk detoksifikasi digital ini menarik banget. Di era serba cepat dan penuh notifikasi, mengambil waktu untuk melambat dan mengurangi paparan layar bisa bikin pikiran lebih jernih dan tubuh lebih rileks. Bukan cuma soal mengatur gadget, tapi juga membangun kembali koneksi dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
ReplyDeleteGadget memang semengikat itu, ya. Apalagi kalau sudah scroll media sosial, kadang sampai lupa waktu juga. So, penting banget memang buat detoksifikasi digital dengan menerapkan slow living agar kita kembali sadar dan waras dengan kehidupan nyata
ReplyDeleteHidup di era dgital dengan segala metode yang membuat tergantung dengan ponsel. Wah, slow living ini kalau belum dicoba berasa berat, ya. Tapi jika 2 jam saja dalam sehari terbebas dari ponsel. Hidup jadi lebih bermakna.
ReplyDelete