Rumah Makan Sunda Citraloka Part 7 (Tamat)

2 comments

 

Designed by using canva

“Pelakunya yang berkelakuan aneh di Rumah Makan dan selalu gelisah pada malam pembunuhan Fahira, lalu membuka loker untuk mencuri akses akun WhatsApp korban. Orang yang memanfaatkan situasi untuk mendekati Adistia, agar segala akses informasi bisa didapatkan, agar ia tidak dicurigai sebagai pelaku. Orang yang memiliki dendam besar kepada korban kedua. Orang itu adalah Ageng Patra Sapariah atau lebih tepatnya bernama Patra Sapariah Cumantaka” Semua mata memandang heran menatap Patra tapi tidak dengan Nisa

 

“Tidak mungkin!” Patra bangkit dari duduknya. “Mana bisa kau menuduhku hanya dengan petunjuk tidak jelas itu? Aku tidak bisa menerimanya!”

 

Lalu Patra melanjutkan kembali bantahannya dengan nada yang lebih tinggi, “Lebih banyak bukti yang mengarah Adistia, kenapa ketika ada bukti yang hanya sedikit mengarah  kepadaku, kalian langsung menuduhku sebagai pelaku?!?”

 

Adistia langsung terhenyak dengan perkataan Patra, benar sesuai deduksi Inspektur Amar, pria yang selama kasus berjalan mendekatinya hanya sekedar memanfaatkan dirinya saja dan bahkan tetap menyudutkan dirinya agar sesuai dengan asumsi yang sedang berkembang.

 

“Dia memiliki alibi.” kata Nisa dengan nada tenang dan ekspresi tak terbaca oleh siapapun.

 

“Alibi?” tanya Patra

 

“Pak Amar khawatir Adistia dijebak oleh pelaku dengan bukti-bukti yang sengaja diarahkan kepadanya.” terang Nisa. “Jadi, Pa Amar meminta tolong kepada saya untuk mengawasi dan menjaga Adistia dari terduga pelaku.”

 

“Oh jadi itu, obrolan yang tidak saya ketahui ketika penyelidikan ke rumah Nisa beberapa waktu yang lalu?” celetuk Rakha berusaha memahami situasi.

 

Inspektur Amar mengangguk, tapi ia penasaran dengan detail alibi yang Nisa maksud. “Saya memang meminta anda untuk mengawasi dan menjaga Adistia, tapi kalau masalah alibi, apa yang anda maksud?”

 

“Kemarin malam, saya membuntuti Adistia dan merekam perbincangan dengan Kang Ajat. Saya bisa menunjukkan video hasil rekamannya.”

 

“Tapi, kenapa Teh Nisa membuntuti saya dan merekam obrolan saya dengan Kang Ajat.” Kini Adistia berucap

 

“Bukannya dengan video ini, alibimu jadi semakin kuat? Ada masalah?” Nisa melirik Adistia dan Adistia hanya bisa menelan ludah.

 

Lalu semua yang ada diruangan melihat jelas dalam video itu, Adistia hanya melakukan kontak mata atau fisik. Ia berbicara dengan kepala tertunduk. Hingga video berakhir tak ada sama sekali pergerakan mencurigakan, ia mencampurkan sesuatu benda yang ada di meja dan ditambah, belum ada makanan yang tersaji pada saat Adistia datang.

 

“Sekarang sudah jelas, kan?” tantang inspektur Arga, Patra pun bungkam dan nafasnya tidak beraturan. “Hanya dirimu seseorang yang melakukannya. Selain itu, di ponsel dan loker Fahira terdapat sidik jarimu. Begitu juga pengakuan pengunjung dan sempat memberikan rekaman story-nya yang secara tidak sengaja merekam kamu, telah datang terlebih dahulu dibanding Adistia ke lokasi untuk mengobrol dengan Kang Ajat.”

 

“Selain itu, divisi cyber crime telah melacak riwayat penggunaan akun WhatsApp Fahira. Akun itu terdapat di dua ponsel yang berbeda. Aktivitas terakhirnya adalah melakukan komunikasi satu kali ke nomor Adistia. Setelah diperiksa lebih lanjut melalui IMEI ponsel, IP address, dan riwayat pembelian ponsel itu terdaftar atas nama Patra Sapariah Cumantaka.”

 

Patra tertunduk lemas. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk membela diri. Ia telah terpojok dan tersudut, dan tidak ada pilihan lain selain mengakuinya

 

“Iya, sayalah pelakunya.”

 

Setelah menceritakan detail kejadian pembunuhan Fahira dan Kang Ajat, Patra duduk termanggu,

 

“Apa motifmu melakukan pembunuhan terhadap Fahira dan Kang Ajat?” tanya Rakha

 

“Kang Ajat pesaing bisnis ayahku, dulu saat Rumah Makan Sunda Citraloka belum sesukses sekarang.” ujar Patra. “Karena kalah saing, Kang Ajat menggunakan cara kotor untuk menghancurkan usaha ayahku. Dia mengajak Fahira yang ayahnya adalah preman pasar untuk bekerja sama, ayahnya Fahira beserta gerombolannya membakar restoran ayahku. Aku tidak mempermasalahkan bangunan yang dibakar, masih bisa direnovasi dan mulai dari nol. Tapi mereka tidak memberikan kesempatan kepada kedua orang tuaku untuk keluar menyelamatkan diri. Mereka mengikat orang tuaku didapur.” Patra sempat terdiam sebentar mengatur emosinya yang tak tertahan menceritakan kembali kisah lamanya. “Akhirnya entah bagaimana caranya, Kang Ajat akhirnya tahu aku siapa sehingga ia selalu berusaha menyudutkanku pada kesalahan kecil apapun agar bisa dikeluarkan dari rumah makan, sejak kapan anda tahu bahwa aku pelakunya?”

 

“Saat divisi cyber crime  melaporkan hasil laporannya dan muncul namamu, mengingatkanku pada kasus orang tuamu. Saya salah satu polisi yang ikut menyelidiki kasus itu. Berdasarkan bukti yang ada, itu hanyalah kasus kebakaran biasa. Saya tidak percaya dan menyelidiki kasus ini sendirian. Ada keterkaitan Kang Ajat pada kasus orang tuamu tapi karena dikantor ini saya masih dianggap anak baru, jadi kinerja saya tidak dipercaya oleh atasan saya kala itu.” Inspektur Amar melirik tajam ke arah komandannya yang sedang mengawasi dari jauh, kerjaan anak buahnya dan ketika mengetahui ia sedang disindir oleh anak buahnya lalu mengalihkan pandangan. “Adikmu mungkin ikut bekerja sama dalam menciptakan alibimu tapi kami punya bukti cctv di sekitar kosanmu dan stasiun Bandung, bahwa kamu tidak mengantar adikmu ke stasiun.”

 

Inspektur Amar melirik prihatin ke arah Patra, “Sekarang, dengan kejadian pembunuhan berantai ini, saya sudah tahu seperti apa rasanya sakit hati yang terdalam seorang anak dalam melampiaskan balas dendam. Semoga alasan dendammu menjadi pertimbangan di pengadilan dalam hasil dakwaanmu, perlu kalian ketahui, sekarang ayah Fahira dan komplotannya sedang dijemput oleh anak buah kami, mohon saudara selain sebagai tersangka, juga memberikan saksi untuk kasus ayahmu. Saya mau mengakhiri masa dinas saya disini dengan membereskan kasus yang selalu menghantui hidup saya karena belum diselesaikan,” Ungkap Inspektur Amar kepada Patra dan Patra hanya bisa menunduk.

 

***

 

Adistia mengambil alih kepemilikan Rumah Makan Sunda Citraloka. Mang Suhe, ia angkat sebagai kepala rumah makan, Adistia terlatih memiliki insting yang tajam oleh ayahnya. Di tangan kepemimpinan Mang Suhe, tentu Adistia tidak perlu merasa takut, otentik rasa walau dengan segala modifikasinya akan tetap dipertahankan. Ia tidak akan terjun secara langsung karena itu merupakan sistem kerja dari The High Table, akan tetapi di waktu tertentu atau disaat ia ingin, ia akan datang sebagai juru masak biasa dan posisi sebenarnya dia sebagai apa, hanya akan diketahui oleh Mang Suhe dan orang kepercayaannya yang sengaja ia tempatkan untuk mengawasi selama ia pergi belajar ambil kuliah singkat ke Eropa untuk mengembangkan kemampuannya.

 

Sementara itu, Nisa mengundurkan diri dengan alasan tidak bisa melanjutkan tugas sebagai juru masak karena ada alasan mendesak tapi Adistia tahu, Nisa adalah salah satu penjaga bayangan The High Table, yang dimana ketika sudah tidak ada disana berarti tugas dia selesai dan akan dilanjutkan tugas berikutnya.

 

***

 

Nisa yang sedang mengemas beberapa barang yang dibutuhkan, ia sebenarnya suka ditempatkan di Bandung, tempat yang memiliki udara yang cocok dengan tubuhnya dan segala keindahan kotanya, tetapi ia bagaikan prajurit yang setiap saat harus mau ditugaskan dan ditempatkan dimanapun, lalu ia menelepon seseorang, “Calon putri mahkota sedang dalam misi pengembangan diri diluar jangkauan saya, sebutkan lokasi dan operasi saya selanjutnya, saya akan segera meluncur kesana.”

 

SELESAI

 

 

Related Posts

2 comments

Post a Comment