Ada
masa di mana hidup seperti tak berpihak. Usaha terasa sia-sia, doa seolah
menggantung, dan hati remuk oleh kenyataan yang tak sesuai harapan.
Dalam kondisi seperti ini, sering kali yang muncul adalah tanya:
“Kenapa harus aku?”
Belajar Mengelola Emosi
Jika sebelumnya
kita berdiskusi tentang berpendirian teguh meski minim dukungan. Ada masa
dimana keteguhan hati kita diuji dengan emosi.
Namun
justru di titik inilah, keimanan, kesabaran, dan kedewasaan batin benar-benar
diuji. Bagaimana kita mengelola emosi.
Bagaimana
mengelola emosi saat kecewa, bagaimana tetap berprasangka baik kepada Allah
meski hati berantakan, adalah seni kehidupan yang butuh dilatih dan dipahami bukan
sekali, tapi seumur hidup.
Cara Belajar Mengelola Emosi
Lalu
bagaimana cara untuk belajar mengelola emosi daan tetap berprasangka baik pada
Allah? Simak cara-caranya dibawah ini
1. Akui
Langkah
pertama dalam mengelola emosi adalah mengakui perasaan itu sendiri. Mengakui rasa
kecewa dan luka tanpa menolak kehadirannya
Jangan buru-buru menenangkan diri dengan kalimat
“harusnya aku sabar” atau “ini semua takdir Allah”.
Sebelum
bisa berdamai, kita perlu jujur dengan perasaan sendiri: kecewa, sedih, marah,
terluka semua valid.
Menolak
perasaan itu justru membuat luka semakin dalam dan tak terurai. Tapi dengan
mengakuinya, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk memahami maknanya.
Bilang
dalam hati:
“Ya Allah, aku sedang kecewa, tapi aku ingin belajar memahami maksud-Mu lewat rasa ini.”
Kalimat
sederhana, tapi menjadi langkah besar untuk menumbuhkan kedewasaan spiritual.
2. Berprasangka Baik
Latih
diri berprasangka baik karena allah tidak pernah salah jalur. Berprasangka baik
kepada Allah (husnuzan billah) bukan berarti menolak realitas pahit.
Beprasangka
baik itu yakin dan percaya bahwa di balik segala hal yang kita tidak mengerti,
ada sesuatu yang sedang bekerja dalam diam.
Setiap
kehilangan bisa jadi perlindungan. Setiap penundaan bisa jadi penyelamatan.
Setiap luka bisa jadi jalan pembentukan diri.
a.
Cara
Berlatih Prasangka Baik
Cara
melatihnya bisa dimulai dengan tiga hal sederhana:
1) Tuliskan hal-hal
kecil yang tetap bisa disyukuri. Sekecil apapun, menulis rasa syukur
menyeimbangkan emosi negatif.
2) Ucapkan doa tanpa tuntutan. Doa bukan hanya permintaan, tapi percakapan hati. Katakan saja:
“Tunjukkan aku hikmahnya, ya Allah.”
3) Ingat perjalanan
lalu. Pernahkah sesuatu yang dulu kamu benci ternyata menjadi alasan kamu kuat
hari ini? Itulah tanda Allah bekerja dengan cara-Nya.
3. Memeluk Kekecewaan
Memeluk
kecewa tanpa marah pada Sang Pemberi keputusan. Kemarahan pada Allah muncul
ketika kita merasa tak adil diperlakukan. Tapi sebenarnya, rasa itu lahir dari
keterbatasan pandangan manusia.
Allah
melihat dari atas, sedang kita hanya dari satu sudut kecil kehidupan. Alih-alih
marah, kita bisa belajar memeluk kekecewaan itu dengan doa dan kejujuran hati.
Katakan
dalam diri:
“Aku tidak mengerti, tapi aku percaya Engkau tahu apa yang terbaik.”
Kalimat
ini bukan bentuk pasrah tanpa usaha, melainkan bentuk keimanan yang matang menerima
tanpa menyerah, percaya tanpa mengerti.
4. Mengelola Emosi Saat
Terpuruk
Secara
psikologis, emosi negatif bisa meluap bila tidak dikelola. Berikut cara
sederhana namun efektif:
Bernapas
dalam kesadaran. Ambil napas dalam, hitung sampai empat, hembuskan perlahan.
Lakukan berulang saat hati mulai gelisah.
Menulis
jurnal perasaan. Kadang kita butuh ruang aman tanpa dihakimi. Dengan
menngunakan pulpen dan kertas bisa jadi sahabat terbaik.
Batasi
paparan hal pemicu stres. Jika media sosial menambah luka, tak apa rehat
sejenak. Lakukan detoksifikasi digital, agar bisa kembali membaik.
Dekat
dengan orang yang menenangkan. Tidak perlu banyak, satu teman yang mau
mendengar tanpa menghakimi sudah sangat berharga.
5. Mendalami Makna dan
Hikmah
Mendalami
makna secara jangka panjang merupakan salah bentuk kedewasaan. Kedewasaan
spiritual bukan hasil instan. Ia tumbuh lewat waktu, lewat luka yang kita
maknai, bukan sekadar dilalui.
Untuk
terus belajar dari setiap ujian:
Refleksi berkala. Tanyakan setiap beberapa waktu: apa yang sudah aku pelajari dari masa sulit ini?
Bangun
rutinitas jiwa. Dzikir, meditasi, journaling, atau membaca kitab suci apapun
yang membuat batin tenang dan fokus.
Bantu
orang lain yang sedang jatuh. Ketika kita menolong, luka kita perlahan ikut
sembuh.
Dalam
proses ini, kita belajar bahwa Allah tidak ingin menghukum, tapi mendidik. Rasa
sakit bukan tanda kebencian, tapi alat pembentukan agar kita menjadi versi
terbaik dari diri sendiri.
Penutup
Luka
yang membentuk, bukan meruntuhkan roda hidup memang berputar, tapi yang tidak
boleh ikut berputar adalah keyakinan kita pada kebaikan Allah.
Kadang,
di saat paling gelap justru kita menemukan cahaya yang paling jujur cahaya
iman, sabar, dan pengertian bahwa setiap takdir memiliki alasan.
Mungkin
bukan sekarang kita mengerti, tapi suatu hari nanti, kita akan tersenyum dan
berkata:
“Ternyata
semua ini memang harus terjadi agar aku menjadi aku yang sekarang.”




Meski nggak mudah, ketika sedang kecewa atau terpuruk selalu gantungkan segalanya pada Allah, insya Allah hati jadi tenang, langkah pun jadi ringan. Intinya semua rencana Allah itu yang terbaik.
ReplyDeleteMengakui rasa sakit dan kecewa menjadi langkah awal untuk sembuh, ya. Namun, seringnya kita menolak dengan sangkaan itu akan bisa melindungi diri. Padahal dengan denial, luka itu malah makin jauh dari sembuh..
ReplyDeleteThank you for writing this, Mbak. Semoga hari-hari ketika kita bisa bilang,"ternyata semua ini memang harus terjadi agar aku menjadi aku yang sekarang" itu segera tiba. Tapi harus sabar ya, hehehe.. Badai pasti akan berlalu, berganti jadi pelangi di langit biru. Seperti kisah-kisah orang sukses yang " mulai dari nol", mungkin kisah kita juga akan berakhir indah. Aamiin.
ReplyDelete